MAKALAH
SISTEM PENGAJARAN NON FORMAL METODE
PESANTREN
(Studi Madrasah Tsanawiyyah Al-Furqon
Kawali – Karawang)
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Perencanaan Sistem
Pengajaran PAI
Dosen Pengampu: Drs. Rosyid, MM
Disusun Oleh :
Asep Sumarno
NIM 201028159
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SHALAHUDIN AL
AYYUBI
JAKARTA
2012
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
BAB II. PERMASALAHAN DAN PERUMUSAN 3
BAB III. TEORI DAN KAJIAN 5
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8
BAB V. PENUTUP DAN KESIMPULAN 11
BAB I
PENDAHULUAN
Pesantren adalah salah satu institusi pendidikan
khas Indonesia. Pesantren juga satu-satunya lembaga pendidikan negeri ini yang
berhasil bertahan sampai saat ini. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh institusi
pendidikan khas Indonesia seperti surau dan meunasah. Sebagai institusi yag
berbasis pada masyarakat, pesantren mempunyai kiprah besar dalam membentuk
karakter dan jiwa keilmuan masyarakat sekitar.
Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga
pendidikan dan keagamaan Islam. Istilah pondok diperkirakan berasal
dari bahasa Arab, yaitu funduk yang berarti rumah penginapan atau
hotel. Dalam konteks masyarakat Jawa, pemahaman tentang pesantren serupa dengan
padepokan yang di dalam lingkungannya terdapat komplek perumahan untuk tempat
tinggal para santri (murid). Perumahan itu biasanya berupa petak-petak kamar
selayaknya asrama.
Sedangkan makna tersirat dari pesantren berasal
dari kata santri. Awalan pe- dan akhiran -an pada
kata pesantren bermakna “tempat tinggal para santri”. Sementara itu,
istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji.
Pengertian lain tentang istilah santri berasal dari bahasa India,
yaitu shastri yang mengacu pada orang yang tahu buku-buku suci agama
Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang
berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku ilmu dan pengetahuan.
Dua pengertian tentang pesantren dari bahasa Tamil dan India itu berasal dari
ilmuwan asing, yaitu Profesor Johns dan C.C. Berg. (Nasir, 2005; 80-82.
Dhofier, 1982; 18).
Selanjutnya pesantern adalah
sistem pendidikan yang melakukan kegiatan sepanjang hari. Santri tinggal di
asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiai dan senior mereka. Oleh karena
itu, hubungan yang terjalin antara santri-guru-kiai dalam proses pendidikan
berjalan intensif, tidak sekedar hubungan formal ustadz-santri di dalam kelas. Dengan demikian kegiatan pendidikan
berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga malam hari.
Sistem pendidikan ini membawa keuntungan, antara
lain : pengasuh mampu melakukan pemantauan secara leluasa hampir setiap saat
terdapat perilaku santri baik yang terkait dengan upaya pengembangan
intelektualnya maupun kepribadiannya. Keuntungan kedua adalah adanya proses
pembelajaran dengan frekuensi yang tinggi dapat memperkokoh pengetahuan yang
diterimanya. Dalam teori pendidikan diakui bahwa belajar satu jam yang
dilakukan lima kali lebih baik daripada belajar selama lima jam yang dilakukan
sekali , padahal rentangan waktunya sama. Keuntungan ketiga adalah adanya
proses pembiasaan akibat interaksinya setiap saat baik sesama santri, santri
denga ustadz maupun santri dengan kiai. Keuntungan lainnya adalah adanya
integrasi antara proses pembelajaran dengan kehidupan keseharian. Mastuhu
menilai bahwa sistem pendidikan pesantren menggunakan pendekatan holistik.
Para pengasuh memandang kegiatan belajar mengajar merupakan kesatupaduan atau
lebur dalam totalitas kegiatan kehidupan sehari-hari. Akibatnya muncul sikap
saling menjaga komitmen dan konsistensi terutama dari pihak pengasuh baik kiai
maupun ustadz. Apa yang dianjurkan oleh kiai maupun ustadz harus terlebih
dahulu terefleksi dalam kehidupan keseharian mereka.
Dalam sistem pendidikan ini
fungsi keteladanan menjadi sangat dominan. Apalagi ketika dikaitkan dengan
doktrin agama bahwa Nabi Muhammad menjadi teladan bagi umat manusia,
sementara itu para kiai adalah pewaris para Nabi (al-ulama warasat al-anbiya).
Maka kronologinya adalah para kiai menjadi teladan bagi umat islam, terlabih
lagi di pesantren kiai menjadi teladan bagi santri-santrinya.
BAB II
PERMASALAHAN
DAN PERUMUSAN
Dalam hal pembelajaran, pesantren sampai saat ini
harus dapat dibedakan dengan sistem pendidikan madrasah seperti dikenal saat
ini. Pesantren adalah lembaga pendidikan masayrakat yang pada dasarnya tidak
mengembangkan sistem madrasah dalam penyelenggaraan pendidikannya—jadi lebih
bersifat informal, dalam arti masyarakat menikmati pembelajaran di dalam
lembaga pesantren secara lues, tanpa batasan-batasan artifisial dan formal
seperti usia dan latar belakang sosial lainnya. Tetapi, dalam
perkembangannya—dan ini karena pengaruh-pengaruh sistem sekolah
modern—pesantren tidak hanya mempertahankan sistem pembelajaran informal,
tetapi juga menganut sistem pembelajaran klasikal berupa madrasah.
Sistem madrasah ini sekarang justeru merupakan
komponen pembelajaran yang dominan di pesantren. Bahkan, sebagian pesantren
dapat disebut sebagai lembaga pendidikan madrasah itu sendiri—sehingga menjadi
identik pesantren dan madrasah— karena komponen pembelajaran informalnya
hilang. Masyarakat umum tidak lagi dapat menikmat kesempatan belajar yang luwes
di pesantren sebagaimana dahulu menjadi ciri pokok pesantren. Pesantren pada
saat ini—dengan demikian—menjadi semakin eksklusif. Pembelajaran yang
dikembangkannya sudah beralih dari pembelajaran massal kepada pembelajaran
klasikal. Tetapi, jika diperhatikan dari sudut pandang pendekatan pembelajaran
modern, pada dasarnya pesantren—dilihat dari sebagian cara atau prosedur
pembelajarannya, seperti dalam sistem sorogan—sudah menerapkan pembelajran
individual, kendatipun belum dalam bentuknya yang paling terorganisir dan
terstruktur. Sekarang, terjadi semacam proses tarik-ulur antara mengedepankan
citra konvensional dengan mengakomodasi perkembangan modern.
Kehadiran sistem madrasah di pesantren tampaknya
tidak terelekkan sifatnya,bukan hanya karena tuntutan modernitas, tetapi juga
berkenaan dengan elan-vital pesantren tetapi juga persoalan akomodasional
pesantren untuk mengakses masa depan. Bahkan, pesantren juga ingin menjamin
survivalnya. Sebagian pesantren, yang terus ingin mempertahankan corak
konvensional pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat, hanya dapat
melakukan pembelajaran agama kepada masyarakat dengan cara kiainya mendatangi
mushalla dan masjid tertentu di luar pesantren untuk memberikan pembelajaran
agama. Namun, tetap saja tampak corak eksklusifnya karena tidak menyediakan
ruang dan kesempatan belajar massal di dalam pesantren.
Sebelum menggunakan sistem madrasah, pesantren
memakai sistem pembelajaran konvensional. Sistem pembelajaran ini mempunyai
karakteristik, terutama tidak menganut ketentuan-ketentuan formalistic dan
procedural yang ketat. Hal ini karena organisasi sistem pembelajaran itu
sendiri tidak terbentuk sebagaimana mestinya. Dalam pembelajaran pesantren
konvensional tidak dijumpai komponenkomponen pembelajaran formal, seperti
daftar santri (peserta) pengajian, daftar pelajaran, desain pembelajaran, media
pembelajaran, dan tidak ada pula evaluasi hasil belajar. Mata ajaran yang
diajarkan hanyalah ilmu-ilmu keagamaan—terutama dari kitab-kitab abad
pertengahan yang dikenal dengan kitab-kitab klasik/kuning (al-kutub
al-qadimah). Metode pendekatan yang berkisar pada sorogan, bandongan, cocogan,
setoran, muthalaah dan musyawarah.
Berbeda dengan pembelajaran agama konvensional,
pembelajaran di madrasah dilaksanakan dengan sistem kelas (classical sistem)
yang terorganisir dan terstruktur. Murid dikelompokkan ke dalam kelas-kelas,
dan setiap murid baru diperkenankan mengambil mata pelajaran berikutnya sesudah
menyelesaikan mata pelajaran di tingkat sebelumnya.
Dalam sistem madrasah, semua elemen penting
pendidikan mulai dari kurikulum, pendekatan, metode, rekruitmen, sampai
evaluasi hasil belajar diatur secara terencana, terukur dan terkontrol.
BAB III
TEORI
DAN KAJIAN
Pendidikan non formal metode pesantren yg dilaksanakan di madrasah tsanawiyyah Al-Furqon menganut pola campuran yang terintegrasi baik ke dalam sistem formal maupun nonformal. Pengajian kepesantrenan sebagai bentuk pendidikan non formal di samping dalam rangka mempertahankan pola konvensional, juga sebagai wahana pengintensifan pendidikan dan bimbingan kepribadian antar personal dalam bentuk metode sorogan dan bandongan.
Sedangkan pendidikan pola madrasah-formal diselenggarakan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan juga untuk mengembangkan metode-metode belajar mengajar moderen secara klasikal dan terukur dengan tetap memasukkan muatan-muatan kepesantrenan di samping materi non-ilmu keagamaan. Berikut ini adalah uraian singkat lembaga pendidikan Al-Furqon :
Adalah sebuah hal yang patut disyukuri lahirnya
pendidikan madrasah di masyarakat—yang hal ini sekarang menjadi basis pesantren
untuk mengakomodasi perkembangan itu, kendatipun sampai saat ini masih tampak
lamban, yang tentunya hal ini sangat dipengaruhi oleh terbatasnya sumber-sumber
belajar dan pusat sumber belajar yang dapat dikembangkan oleh pesantren.
Dalam hal
pembelajaran, pesantren sampai saat ini harus dapat dibedakan dengan sistem
pendidikan madrasah seperti dikenal saat ini. Pesantren adalah lembaga
pendidikan masayrakat yang pada dasarnya tidak mengembangkan sistem madrasah
dalam penyelenggaraan pendidikannya—jadi lebih bersifat informal, dalam arti
masyarakat menikmati pembelajaran di dalam lembaga pesantren secara lues, tanpa
batasan-batasan artifisial dan formal seperti usia dan latar belakang sosial
lainnya. Tetapi, dalam perkembangannya—dan ini karena pengaruh-pengaruh sistem
sekolah modern—pesantren tidak hanya mempertahankan sistem pembelajaran
informal, tetapi juga menganut sistem pembelajaran klasikal berupa madrasah.
Metodologi sistem pengajaran
Sistem dan metodologi pembelajaran konvensional
yang dianut pesantren pada umumnya berkisar pada varian-varian seperti sorogan,
weton/bandongan, halaqah dan hafalan. Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan
atau menyerahkan. Dalam kenyataannya, sorogan diterapkan dengan cara setiap
santri menyodorkan kitab kajiannya di hadapan kyai atau asisten kyai, untuk
selanjutnya sang kiai atau asistennya mengajar santri yang bersangkutan
berdasarkan kitab yang disodorkannya itu. Sistem sorogan ini termasuk penerapan
sistem pembelajaran dengan pendekatan individual. Seorang santri berhadapan
dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya.
Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai
langkah inisiasi bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi orang berilmu.
Sistem ini memungkinkan seorang guru melakukan pendekatan-pendekatan personal,
bahkan pendekatan spiritual dengan para santri. Para kyai mengawasi, menilai
dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa
Arab.
Weton/bandongan, istilah weton ini berasal dari
kata wektu (bhs. Jawa) yang berarti waktu. Penamaan metode ini mengikuti
praktik nyata terjadinya pembelajaran dimaksud. Istilah Weton ini di Jawa Barat
disebut dengan bandungan.
Dalam pengajian dengan metode Weton, pembelajaran
dilakukan pada waktuwaktu tertentu, misalnya sebelum atau sesudah melakukan
shalat fardlu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran
secara kuliah, sementara santri mengikuti pembacaan kitan oleh kiai dengan
melihat dan memperhatikan kitab-kitab yang mereka bawa masing-masing. Santri
juga membuat catatan seperlunya, baik dituliskan pada sisi kitab atau
menyisipkannya di lembar-lembar catatan lain.
Halaqah ini merupakan sistem kelompok kelas dari
sistem bandongan. Halaqah yang arti bahasanya "lingkaran murid", atau
sekelompok siswa dengan formasi duduk melingkar, yang belajar di bawah
bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah ini juga
merupakan kelompok belajar dengan menggunakan metode diskusi tak-terstruktur
untuk memahami isi kitab. Diskusi berkisar pada persoalan apa kandungan atau
hikmat pelajaran yang dapat diambil dari bacaan, baik dari sumber kitab
al-Qur'an, kitab Hadits, atau kitab-kitab kuning lainnya; dan bukan untuk
mempertanyakan benar-salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab. Aspek
kritisnya bukan diletakkan pada kemampuan mempertanyakan normativitas isi kitab
tetapi kemampuan berijtihad mengenai apa maksud yang diajarkan oleh kitab.
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Madrasah Tsanawiyah Al-Furqon yang berada
di bawah yayasan Darul Qur’an adalah sekolah formal setingkat SLTP berciri-khas
agama Islam. Madrasah Tsanawiyah Al-Furqon merujuk pada program
kurikulum lokal pondok pesantren dan kurikulum kemenag. Berlokasi di Jl. Telaga
Sari No. 17 Kawali, Kelari – Karawang.
Pengembangan bakat dan minat siswa Madrasah
Tsanawiyah Al-Furqon dilakukan
dalam ruang lingkup kegiatan non formal yang sebagian siswanya di asramakan
atau dalam istilah bahasa kesantrian yakni ngobong / tinggal di kobong.
Kegiatan ini dilakukan setelah para siswa Mts menyelesaikan kegiatan belajarnya
dari pagi sampai siang.
STRUKTUR KEGIATAN NON FORMAL
·
Sekolah
formal / Tsanawiyyah 07.30
– 14.00
·
Istirahat 14.00
– 15.00
·
Sholat
ashar dan kajian kitab kuning 15.00
– 17.00
·
Sholat
maghrib dan pengajian qiroah 18.00
– 21.00
·
Istirahat 21.00
– 04.00
·
Sholat
subuh, kajian sorogan / tahfidz qur’an 04.00
- 06.00
·
Istirahat 06.00
– 07.00
·
Sholat
Duha 07.00
– 07.30
Berikut adalah beberapa jenis kegiatan non formal
yang dilakukan di Madrasah Tsanawiyah Al-Furqon ;
v Qiroat Al-Qur’an
Kegiatan ini adalah merupakan target dan
ciri khas dari lulusan siswa Madrasah Tsanawiyah Al-Furqon yang kerap
menjuarai perlombaan MTQ tingkat kabupaten karawang. Metode belajar yang
dilakukan adalah dengan sistem talaqi yaitu para santri berhadapan langsung
dengan guru/ustadz dalam mengikuti
proses belajaranya dengan sistem pelafalan.
Para santri diajarkan bagaimana mengenal
dan belajar jenis gaya irama pembacaan Al-Qur’an sesuai kaidah-kaidah yang
benar dengan terus menghapal bebarapa jenis lagam/irama qiroat.
Sistem pengajaran :
-
Metode
belajar : Sistem talaqi /
sorogan
-
Waktu
belajar : Ba’da maghrib
-
Target
pembelajaran : Santri mengenal
dan menguasai jenis
qiroat bacaan Al-Qur’an
-
Sumber
dan alat peraga : Kitab qiroat dan
mushaf Al-qur’an
v Tahfidz Al-Qur’an
Salah satu program yang menjadi pilihan
para siswa Mts untuk mengembangkan potensi dalam pengembangan dirinya adalah di
sediakannya kegiatan belajar tahfidzul qur’an.
Kegiatan ini menitik beratkan pada hapalan qur’an dengan sistem setoran
hapalan yang diberikan para santri kepada guru / para asatidz.
Sistem pengajaran :
-
Metode
belajar : Sistem talaqi /
tatap muka
-
Waktu
belajar : Ba’da Subuh
-
Target
pembelajaran : Santri hapal
qur’an sebanyak 05 juz
-
Sumber
dan alat peraga : Mushaf qur’an
v Kajian kitab kuning
Seperti layaknya pondok pesantren maka
dalam hal ini Madrasah Tsanawiyah Al-Furqon
mengadakan kegiatan belajar kajian kitab kuning dengan harapan para
santri yang ikut tinggal di kobong (asrama) dapat sedikit banyaknya mampu
memahami kitab-kitab rujukan para ulama sebagai bekal dakwah di masyarakat.
Sistem pengajaran :
-
Metode
belajar : Ceramah
-
Waktu
belajar : Ba’da Ashar
-
Target
pembelajaran : Mengenal dan
memamahmi kitab kuning
-
Sumber
dan alat peraga : Kitab kuning
Dalam menjalani proses kegiatan belajar
non formal sebagaimana di atas sebagian para siswa Madrasah Tsanawiyah
Al-Furqon dapat merasakan suasana
belajar layaknya di sebuah pondok pesantren. Suasana belajar dan tempat tinggal
di kobong (asrama) memberikan sentuhan tersendiri dalam diri para siswa Mts
untuk menjadi seorang santriwan dan santriwati.
BAB V
PENUTUP
DAN KESIMPULAN
Saat ini, dengan diterapkannya sistem klasikal di
Pondok Pesantren, yaitu dengan dikenalkannya sistem Madrasah Diniyah, mau tak
mau pengayaan metodologi tidak lagi sebatas yang sudah di kenal di kalangan
Pondok. Hal itu disebabkan karena terpengaruh oleh perkembangan hidup modern
yang menuntut orang maupun lembaga untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan
tersebut. Karena itulah cara yang bisa ditempuh agar di Pondok Pesantren tetap
bisa digandrungi oleh masyarakat. Artinya dengan memadukan pola pendidikan tradisional dengan pola pendidikan
modern.
Dalam pandangan modern tidak hanya untuk mengejar
pengetahuan sebagai hasil belajar satu-satunya, melainkan menginternalisasi
nilai-nilai yang secara laten dapat diperoleh dari halaqah, seperti belajar
kemampuan cara menganalisis masalah dan kemampuan mengenai cara mengungkapkan
pemikiran. Jadi, halaqah tidak hanya menghasilkan
instructional effect, tetapi juga formal effect atau disebut juga nurturent
effect. Instruktional effect adalah hasil belajar seperti yang dibatasi oleh
tujuan pembelajaran yang telah disusun. Sedangkan nurturent effect adalah hasil
belajar laten yang diberoleh dari pembelajaran, yang biasanya berupa perubahan
kualitas-kualitas personal seseorang dalam belajar, baik dalam bentuk sikap
perhatian maupun motivasi belajar.
Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua
macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan
pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di
pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha
mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal
(seperti madrasah).
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah
berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren.
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru
dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan.
Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab
dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar
dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan
luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat
(Hasbullah, 1999:155).
DAFTAR
PUSTAKA
Makalah yang tersusun ini dalam
pengambilan informasinya untuk mengetahui kegiatan proses belajar melalui tanya
jawab dan teknik wawancara kepada salah seorang staf guru. Dan untuk menunjang
bobot makalah penulis mengambil dari berbagai sumber tulisan seperti ; Pesantren sebuah deskripsi
(majalahsantri.com), Pola pendidikan pesantren (Farid Afri Nurmansyah), dan Pedoman Pesantren Muadalah (Dirjen Pendidikan Diniyyah dan
Pondok Pesantren).
LAMPIRAN
Judul
makalah :
SISTEM
PENGAJARAN NON FORMAL METODE PESANTREN
(Studi Madrasah Tsanawiyyah Al-Furqon
Kawali – Karawang)
Mengetahui
:
Kepala
Sekolah Madrasah Tsanawiyah Al-Furqon
Dra.Hj.
Ai Zamzam
No comments:
Post a Comment