|
"Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu" Jum'at, 02 Maret 2012
Hidayatullah.com- Seorang pria berambut putih naik ke atas panggung,
lalu berdiri di belakang podium. Dia berbicara santai sepatah dua patah
kata, beberapa saat kemudian gaya bicaranya mulai berubah. Agak
tersendat, lalu suaranya meninggi, menurun, datar, kemudian sesegukan.
Pria berpeci hitam itu sekonyong-konyong menangis di depan ratusan
orang. Tak sungkan dikeluarkannya tisu dari balik saku, menyapu kristal
bening dari kelopak mata di belakang kaca matanya. Dalam lirih, pria
berbatik hitam itu tetap berbicara sarat emosional, melontarkan kata
demi kata bermuatan sastra. Di lain kalimat dia mendesah, di lain
paragraf suaranya mengayun, kadang pula sembari terkikih-kikih. Suasana
dibawanya berubah-rubah, orang-orang di depannya pun terbawa suasana.
Tercenung, hening, tersenyum dan tertawa. Pria itu tak lain
adalah Taufik Ismail. Budayawan terkenal asal Bukittinggi, Sumatera
Barat tersebut saat itu sedang membawakan sejumlah puisinya kala
menyampaikan sambutan pada acara Deklarasi Majelis Intelektual dan Ulama
Muda Indonesia (MIUMI) di Puri Ratna, Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta
(28/2/2012). Menurut Taufik, puisinya tersebut sebagai cerminan dari rintihan rakyat dan bangsa Indonesia saat ini. "Saya akan menyampaikan beberapa puisi yang menggambarkan perasaaan hati kita semua," ujar dia dalam pengantarnya.
Malam itu, Taufiq membacakan puisi "Mencari Sekolah yang Mengajarkan
Rasa Malu" di hadapan para ulama, tokoh intelektual, tokoh agama, tokoh
masyarakat, pejabat, tokoh politik dan tokoh pemikiran serta para
undangan, berikut kutipan puisinya; "..." Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu Seorang ibu membawa anaknya ke sekolah A dia mengajukan permohonan “Tolong, tolong anak saya diajari rasa malu,” katanya Kemudian, jawab kepala sekolah “Waaah, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu,” “Loh, kenapa, pak?” “Begini, Bu, ketika murid-murid nyontek, guru-guru kami pura-pura tidak tahu,” “Ooooh…” Ibu itu pergi, membawa anaknya ke sekolah B dia menyebutkan permintaan yang serupa “Bu, bu, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya Kemudian, jawab ibu kepala sekolah “Waadduh, di sekolah kami tidak lagi diajarkn rasa malu,” “Loh, bagaimana toh itu maksudnya, Bu Kepala Sekolah?” “Begini, begini… Ketika UAN, ada guru ditugaskan diam-diam, kepada murid memberi jawaban ujian,” “ooooo…” Ibu yang gigih itu ibu itu sangat gigih dia membawa anaknya ke sekolah C dia mengulang lagi permintaan itu juga “Pak, pak, pak, pak, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya Jawab kepala sekolah, “Yaaaah, kok nggak tau sih ibu ini? Di sekolah kami kan sudah lama sekali tidak diajarkan rasa malu,” “Loh, bagaimana itu penjelasannya Pak Kepala Sekolah?” “Walah, walaaah, sekolah kami sudah seratus persen lulusnya, dan itu harus dicapai dengan segala cara,” “Bagaimana itu caranya pak?” “dee ngaan see gaa laa caa rraa…” “ooooooooo…” 9 “O”-nya itu ***
|
No comments:
Post a Comment